Jumat, 09 April 2010

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG POLITIK; Telaah Penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG POLITIK
(Telaah Penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar)
Oleh: Shohibul Adib, S.Ag. M.S.I.

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, ia di samping berfungsi sebagai petunjuk (hudan) —antara lain dalam persoalan-persoalan akidah, Syari'ah, moral dan lain-lain —juga berfungsi sebagai pembeda (furqān). Sadar bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niatan di kalangan pemikir Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’an yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsi@r).
Dalam kaitanya dengan penafsiran al-Qur'an, manusia memiliki kemampuan membuka cakrawala atau perspektif, terutama dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang mengandung z}anni al-dila@lah (unclear ststement). Dari sini tidak dapat disangsikan terdapat penafsiran yang beragam terkait dengan masalah politik antara lain: pertama, yang menyatakan bahwa al-Qur'an memuat ayat-ayat yang menjadi landasan etik moral dalam membangun sistem sosial politik. Kedua, al-Qur'an sebagai sumber paling otoritatif bagi ajaran Islam, sepanjang terkait dengan masalah politik tidak menyediakan prinsip-prinsip yang jelas, demikian pula dengan as-sunnah. Ketiga, terdapat penafsiran yang menyatakan al-Qur'an mengandung aturan berbagai dimensi kehidupan umat manusia di dalamnya termasuk mengatur sistem pemerintahan dan pembentukan negara Islam. Salah satu dari sekian banyak penafsir yang ada adalah Hamka dengan karyanya Tafsir al-Azhar. Bagaimana epistemologi Hamka dalam usahanya menemukan, mengidentifikasi, dan menafsirkan prinsip-prinsip fundamental dari politik Islam sebagaimana yang terkandung di dalam al-Qur'an adalah pertanyaan yang akan dikaji dalam paper ini.

B. BIOGRAFI HAMKA
Nama lengkap dari Prof. Dr. H. Hamka adalah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah bin Abdullah bin Soleh, atau yang dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Buya Hamka dilahirkan di sebuah perkampungan yang bernama Sungai Batang dekat Danau Maninjau Sumatra Barat. Dia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 yang bertepatan dengan tanggal 14 Muharam 1326 H. Buya Hamka adalah anak seorang ulama yang terkemuka dan terkenal yaitu Dr. Haji Karim alias Haji Rosul, pembawa faham pembaharu Islam di daerah Minangkabau.
Buya Hamka adalah seorang pujangga, ulama, pengarang, dan politikus. Dia banyak mengubah syair dan sajak, menulis karya sastra, mengarang buku-buku bernafaskan keagamaan. Dia menjadi tempat bertanya dan rujukan berbagai masalah keagamaan. Ia pernah menjadi anggota Dewan Konstituante (dari partai Masyumi) setelah pemilu tahun 1955. Buya Hamka belajar didesanya selama tiga tahun, ia lalu melanjutkan pendidikannya kirakira tiga tahun pula di sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek. Karena bakat dan otodidaknya yang kuat, ia dapat mencapai ketenaran dalam berbagaibidang. Bakatnya dalam bidang bahasa menyebabakan ia dengan cepat dapatmenguasai bahasa Arab sehingga ia mampu membaca secara luas termasuk berbagai terjemahan dari tulisa-tulisan Barat. Bakat tulis-menulis tampaknya memang telah dibawanya sejak kecil, yang diwarisinya dari ayahnya, yang selain takoh ulama juga penulis, terutama dalam majalah al-Munir.
Pada usia tujuh belas tahun, sekitar tahun 1925. Dia telah menerbitkan bukunya yang pertama Khatibul Ummah, yang berarti Khatib dan Umat. Kisah perjalanan naik haji ke tanah suci ditulisnya dalam surat kabar Pelita Andalas. Tahun 1928, ia menerbitkan majalah Kemajuan Zaman dan pada tahun 1932 ia terbitkan pula majalah al-Mahdi. Kedua majalah tersebut bercorak kesusastraan dan keagamaan. Pada tahun 1936-1943 Hamka menjadi ketua redaksi majalah Pedoman Masyarakat di Medan, sebuah majalah yang pernah mencapai oplag tertinggi sebelum perang dunia kedua. Pada tahun 1959, ia menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Pada tahun 1960 dilarang terbit karena menentang politik Soekarno. Bahkan ia sendiri ditangkap dan semua buku-bukunya pun dilarang beredar.
Selama meringkuk dalam tahanan berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepadanya, lebih–lebih siksaan yang bersifat mental. Berkat pertolongan dan perlindungan dari Allah Swt semua siksaan dan penderitaan selama berada dalam tahanan itu juga ada hikmahnya bagi dia. Dimana dia dapat mengarang sebuah kitab Tafsir al–Qur’an yang beliau beri nama “ Kitab Tafsir al – Azhar “ dan sekaligus merupakan sumbangannya yang terbesar bagi umat manusia. Dimana dia berkata: “ Sebaiknya sayalah yang mengucapkan terima kasih kepada yang menahan saya, karena selama dua tahun dalam tahanan dan di rumah sakit persahabatan, saya telah berhasil mengarang Tafsir al–Qur’an yang tidak dapat saya selesaikan dalam tempo 20 tahun diluar tahanan“. Setelah keluar dari tahanan dia lebih banyak mencurahkan dan menyisihkan waktu dalam soal agama saja, seperti memberi kuliah subuh, ceramah melalui RRI, TVRI dan membina Masjid Agung al–Azhar dengan sebagai imam besar.
Pada tahun 1967 dia direabiliter oleh presiden Suharto dan larangan menyebarkan buku–buku karangannnya dicabut kembali sedangkan dalam organisasi Muhammadiyah sejak tahun 1971. dia ditetapkan menjadi penasehat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayat. Berkat ilmu pengetahuan yang di dapati dengan cara belajar sendiri, maka pada tanggal 8 Juni 1974 Buya Hamka mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Melaysia Kuala Lumpur.
Pada bulan Juni 1975 berdirilah MUI dan Buya Hamka terpilih menjadi ketua pertama sampai tahun 1981 dia meletakkan jabatan setelah heboh soal fatwa mengenai kehadiran umat Islam dalam perayaan Natal.
Disamping terkenal sebagai ulama besar, dia juga terkenal sebagai pengarang yang sangat produkif hampir seluruh waktunya dicurahkan pada dunia tulis–menulis. Di dunia tulis–menulis ia rintis pada usia yang relatif muda yaitu pada usia 17 tahun. Dia sudah berhasil mengarang sebuah buku, satu keistimewaan dia dalam menulis, dimana hasil karya–karyanya enak dibaca karena didalamnya disertai bahasa yang indah dan menawan setiap pembaca. Disamping itu juga mudah pula dipahami maksud isinya. Inilah salah satu faktor yang menyebabakan pembaca buku– buku Buya Hamka tidak bosan, banyak sekali buku–buku yang dia karang meliputi berbagai ilmu antara lain: sejarah, filsafat, tasawuf , fiqih, roman dan lainnya. Hamka telah mengarang buku kurang lebih sebanyak 150 buah buku sebagaimana yang tertera didalam buku perjalan terakhirnya disebutkan: “Dari semenjak menciptakan buku “ Khatibul Ummah “ yang merupakan buku agama pertama dibuatnya dengan menggunakan bahasa arab sampai pada buku yang paling besar dan terakhir ialah : “ Tafsir al–Qur’anul Karim al–Azhar “ tidak kurang 113 buku sedangkan buku–buku lainnya dari sejak “ Tengelamnya Kapal Van Der Wijcknya dan Dibawah Lindungan Ka’bah “ roman yang bernafaskan agama Islam sampai pada politik, filsafat, yang telah dimuatnya mencapai 150 buku.

C. METODE DAN CORAK TAFSIR AL-AZHAR
Tiap–tiap tafsir pasti memberikan suatu corak atau haluan dari penafsirnya, seperti halnya dalam Tafsir al-Azhar ini. Dalam penafsirannya Buya Hamka memelihara sebaik mungkin antara naql dan akal, dirayah dengan riwayah dan tidak semata–mata mengutip atau menukil pendapat orang terdahulu, tetapi mempergunakan pula tujuan dan pengamalannya. Oleh sebab itu, Tafsir al-Azhar ini ditulis dalam suasana baru di negara yang penduduk muslimnya lebih besar jumlahnya daripada penduduk muslim di negara lain. Maka pertikaian madzhab tidaklah dibawa, juga tidak ta’asub (fanatik) kepada suatu faham, melainkan mencoba segala upaya mendekati maksud ayat, menguraikan makna lafadz bahasa Arab ke dalam bahas Indonesia serta memberi kesempatan orang buat berfikir.
Tafsir al-Azhar adalah tafsir yang berkombinasi antara bil ma’tsur dan bil ra’yi, sebagaimana ia katakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an ia menganut madzhab salaf yaitu madzhab Rasulullah dan para sahabat serta ulama-ulama yang mengikuti jejaknya. Dalam hal ibadah dan aqidah dia memakai pendekatan taslim, artinya menyerahkan dengan tidak banyak bertanya, melainkan meninjau mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti dan meninggalkan yang jauh menyimpang. Tidaklah nabi mengikat dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai dengan perkembangan zaman. Ijtihad dalam hal ini adalah solusinya dengan jalan bermusyawarah, yakni memungut suara serta mengambil keputusan atau dalam bahasa sekarang disebut prosedur sidang. Sebab dalam masyarakat mesti ada syūra.

D. POLITIK DALAM TAFSIR AL-AZHAR
1. Masalah Syūra
Hamka dalam karyanya tidak memberikan definisi secara jelas tentang syūra. Ia menjelaskan bahwa al-Qur'an dan hadis tidak memberikan informasi detail tentang bagaimana melakukan syūra. Sebagai bahan pertimbangan Rasulullah dalam hal ini memakai menteri-menteri utama seperti Abu Bakar, Umar, dan menteri tingkat kedua yakni Usman dan Ali, kemudian terdapat enam menteri lain, serta satu menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar. Islam menurut Hamka telah mengajarkan pentingnya umat mempraktikkan sistem syūra ini. Sementara itu, teknik pelaksanaanya tergantung pada keadan tempat dan keadaan zaman.
Sementara itu, menurut Hamka dalam Qs: as-Syu@ra ayat 38 mengandung penjelasan bahwa kemunculan musyawarah disebabkan karena adanya jamaah. Dalam melakukan shalat diperlukan musyawarah untuk menentukan siapa yang berhak untuk menjadi imam. Dengan demikian, menurut Hamka dasar dari musyawarah telah ditanamkan sejak zaman Makah. Sebab, ayat ini (al-Qur'an surah as-Syu@ra) diturunkan di Makah. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam menjalankan musyawarah harus didasarkan pada asas al-maslah{at. Nabi dalam hal ini menegaskan segala urusan terkait dengan dunia, misal masalah perang, ekonomi, hubungan antar sesama manusia dibangun atas dasar dibangun atas dasar timbangan maslahat dan mafsada@t-nya.
Hamka dalam hal ini mengkontekskan ayat al-Qur'an tentang syūra dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya, bangsa Indonesia dapat memilih sistem pemerintahan dalam bentuk apapun untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi tidak boleh meninggalkan sistem sura yang di dasarkan atas maslahat. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa maslahat adalah prinsip dasar dalam melakukan syūra yang wajib dilakukan oleh setiap bangsa dan negara.
2. Masalah Negara dan Kepala Negara
Hamka menyatakan bahwa suatu umat adalah semua kaum yang telah terbentuk menjadi suatu masyarakat atau kelompok, mereka menjadi satu atas dasar persamaan keyakinan. Adapun tegak berdirinya suatu negara atau kekuasaan dimulai sejak manusia mengenal bermusyawarah dan bernegara, di mana kekuasaan dari segala bentuknya adalah milik Allah, yang telah menjadikan manusia sebagai pemimpin atau khalifah dalam menjalankan kekeuasaan tersebut, yang dibarengi dengan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dalam nas.
Dalam keyakinan Islam, manusia mengatur negara bersama-sama atas kehendak Tuhan. Pengangkatan presiden, sultan, raja harus berada di bawah kekuasaan Tuhan yang dijelaskan dalam nas, Hamka menyebutnya dengan “Demokrasi Taqwa”. Majunya suatu kelompok masyarakat adalah manakala mereka memegang teguh peraturan-peraturan Allah, dan runtuhnya masyarakat manakala mereka meninggalkan-Nya. Tidak ada satupun yang dapat menghalangi keruntuhan itu.
Sementara itu, terkait dengan syarat bagi seorang pemimpin (kepala negara), Hamka menyatakan ada dua hal yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Pertama, ilmu yakni ilmu tentang kepemimpinan. Kedua, badan, yakni sehat, dan tampan sehingga memunculkan simpati. Ditambahkan pula bahwa pemimpin tersebut haruslah orang Islam sendiri, agar tidak menimbulkan instabilitas dan keruntuhan kaum muslim.
Lebih lanjut, Hamka menjelaskan bahwa tugas seorang pemimpin adalah meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari, menambah ilmu, membangun kemajuan dan kebudayaan, mengatur siasat negeri, bangsa dan benua.
3. Masalah Hubungan Agama dan Negara
Islam adalah suatu ajaran dari langit, mengandung syari@’at dan ibadah, mua@malat (kemasyarakatan), dan kenegaraan. Semua datang dari satu sumber, yakni tauhid. Tauhid tidak boleh dipisahkan, misal hanya melakukan shalat saja, sementara kenegaran diambil dari ajaran lain. Jika ada keyakinan lain bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, maka kafirlah orang tersebut, meskipun orang itu masih melaksanakan shalat lima waktu. Hal ini tidak aneh, sebab tauhid bagi Hamka adalah pembentuk bagi tegak dan teguhnya suatu bangsa.
Hamka ketika menafsirkan Qs: al-Baqa@rah (2): 283 menyimpulkan bahwa antara Islam dan negara adalah satu kesatuan, tidak ada yang dapat memisahkan urusan dunia dan agama bahkan dalam kaitannya dengan masalah urusan muamalah, hubungan manusia dengan manusia yang lain (hukum perdata). Sebab, Islam menghendaki hubungan yang lancar dalam segala urusan. Pendapatnya ini juga ditemukan dalam tulisannya yang lain bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah ditemukan pemisahan antara agama dan negara.

E. ANALISIS
1. Masalah Syūra
Istilah Syūra berasal dari kata شاور- يشاور (sya@wara-yusyāwiru) yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. تشاور (tasyāwara) berarti saling berunding, saling tukar pendapat. Secara Lugawi Syūra berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Sedang menurut istilah berarti sarana dan cara memberi kesempatan pada anggota komunitas yang mempunyai kemampuan membuat keputusan yang sifatnya mengikat baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik. Menurut Abu Faris syūra adalah pemutarbalikan bernagai pendapat dan arah pandangan yang terlempar tentang suatu masalah, termasuk pengujianya dari kaum cendekiawan, sehingga mendapat gagasan yang benar, dan baik, sehingga dapat mrncerminkan konklusi yang paling baik.
Konsep syūra sendiri menurut Fazlur Rahman senyatanya merupakan suatu proses di mana setiap orang harus saling berkonsultasi dan mendiskusikan persoalan secara konstruktif dan kritis untuk mencapai tujuan bersama. Semua itu diletakkan dalam kerangka nilai keadilan, kesederajatan, dan pertanggungjawaban sehingga tujuan yang ingin dicapai benar-benar bersifat objektif dan independen. Menurut Munawir Sjadzali, dalam bukunya “Islam dan Tata Negara” menyebutkan musyawarah merupakan petunjuk umum dalam menyelesaikan masalah bersama, soal teknisnya tidak ada pedoman baku, maka ijtihad merupakan jalan keluarnya Qs: A@li Imra@n (3):159, Qs: as-Syūra (42):38.
Islam dalam hal ini sangat menekankan kepada umatnya untuk mengembangkan konsep syūra dalam mengangkat dan menyelesaikan berbagai persoalan yang bersentuhan dengan persoalan publik, terutama masalah politik yang dalam realitasnya memiliki sisi-sisi yang sangat rentan konflik. Dengan demikian, konsep syūra ini adalah termasuk prinsip-prinsip dasar yang terkait erat dengan masalah negara dan pemerintahan serta hubungan dengan kepentingan rakyat yang dalam kacamata al-siya@sah al-syari@’ah meliputi tiga aspek utama. Pertama al-dustu@riyyah, meliputi aturan pemerintahan prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan, aturan-aturan yang terkait dengan hak-hak pribadi, masyarakat dan negara. Kedua, khari@jiyyah (luar negeri), meliputi hubungan negara dengan negara yang lain, kaidah yang mendasari hubungan ini, dan aturan yang berkenaan dengan perang dan perdamaian. Ketiga, ma@liyyah (harta), meliputi sumber-sumber keuangan dan perbelanjaan negara.
Berdasarkan tiga teori ini, maka konsep Hamka tentang syūra masuk dalam kategori dustu@riyyah. Sebab, ia berdasarkan Qs: as-Syūra (42):38 memandang syūra sebagai pokok dan asas pemerintahan dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam. Ayat ini pada akhirnya menjadi refernsi yang urgen dalam teori politik Islam, khususnya terkait dengan suksesi kepemimpinan dalam Islam, seperti teori ahl al-hall wa al-‘aqd (anggota parlemen).
2. Masalah Negara dan Kepala Negara
Tauhid bagi Hamka adalah dasar bagi pembentukan dan persatuan suatu bangsa. Pandangan Hamka ini menurut penulis dipengaruhi oleh teori “Theo-Demokrasi”nya al-Maududi. Kepala negara atau masalah kepemimpinan adalah masalah yang rentan dengan konflik. Kepemimpinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-khilāfah, sedangkan pemimpin disebut dengan al-khali@fah. Arti primer kata khali@fah, yang bentuk pluralnya khulafā dan khalāif berasal dari kata khalafa, adalah “pengganti”, yakni seseorang yang mengantikan tempat tempat orang lain dalam beberapa persoalan. Menurut Al-Raghi@b khilāfah adalah mengantikan yang lain, ada kalanya karena absennya yang digantikan, mati, atau karena ketidakmampuan yang digantikan.
Dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa Inggris khalifah berarti wakil (deputy), penggantian (successor), penguasa (vicegerent), titel bagi pemimpin tertinggi komunitas muslim sebagai pengganti nabi. Dalam Ensiklopedi Indonesia diartikan sebagai istilah ketatanegaraan Islam, dan berarti kepala negara atau pemimpin tertinggi umat Islam. Istilah khalifah pertama kali muncul di Arab pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 M. Kata khalifah dalam prasasti ini menunjuk kepada semacam raja atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Istilah ini dalam kesejarahan Islam digunakan dalam bentuk khali@fah ar-Rasu@l.
Dalam hal ini, pandangan Hamka tentang khalifah sebagai penerus risalah kenabian baik dalam urusan agama dan dunia juga dipengaruhi atas pembacaannya terhadap berbagai turas Islam.
3. Masalah Hubungan Agama dan Negara
Para sosiolog teoritisi politik Islam merumuskan tiga teori hubungan antara agama dan negara. Pertama, paradigma integralistik, yakni agama dan negara menyatu (integrated). Pemerintahan diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Illahi” (divine soveregnity). Kedua, paradigma simbiotik, yakni agama dan negara berhubungan secara simbiotik atau timbal balik. Ketiga, paradigma sekularestik dengan mengajukan konsep pemisahan (disparitas) agama dan negara. Paradigma ini memisahkan urusan agama dan urusan negara secara diametral.
Berangkat dari teori ini, maka pandangan Hamka masuk dalam kategori paradigma integralistik. Sebab, ia memiliki pandangan bahwa hubungan antara Islam dan negara adalah satu kesatuan.
F. KESIMPULAN
Teori sosiologi menyebutkan, bahwa terdapat pengaruh nilai-nilai sosial terhadap semua persepsi tentang realitas, teori ini juga menyatakan, bahwa tidak ada praktik penafsiran (act of commong to understanding) dapat terhindar dari kekuatan formatif latar belakang (background) dan komunitas paradigma yang dianut oleh seorang penafsir.
Buya Hamka adalah seorang pujangga, ulama, pengarang, dia juga dikenal sebagai politikus yang berseberangan dengan politik pemerintah waktu itu. Oleh karena itu, Hamka ketika ia “menziarahi” ayat-ayat politik, ia berusaha menemukan, mengidentifikasi, dan menafsirkan prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur'an dalam kaca mata politik Islam yang dianutnya, tentunya politik yang berbeda dengan kebijakan politik pemerintah. Hal ini tampak dari pemikirannya tentang “Demokrasi Taqwa”, dan hubungan antara agama dan negara yang menyatu.










DAFTAR PUSATAKA

‘Ali as-S}ābu@n@i, Al-Tibyān fi Ulūm al-Qur’ān, Beiru@t: Dār al-Iftikār, 1990.

A. Maftuh Abegebriel N.A. Abafaz dan, Fundamentalisme Hadis”, dalam A. Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004.

Abdullah Hasan, Ummah or Nation?,Identity Crisis in Contemporary Muslim Society, Leicester: The Islamic Foundation, 1992.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Posisi Sentral al-Qur'an dalam Studi Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama; Sebuah pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Al-Ah}ām al-Sult}āniyyah (Beiru@t: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 3.

Ali Abd al-Raziq, Al-Isla@m wa Us}u@l al-H}ukm: Bah}s al-Khila@fah al-H}uku@mah fi@ al-Isla@m (Kairo: Mat}baah al-Musya@rakah, 1925.

Al-Maududi, Al-Islām wa al-Madaniyah al-H}adi@sah, al-Qahirah: Dār al-Ansa@r, 1978.

Al-Rāghib al-As}faha@ni, Mu'jam Mufradāt li al-Fāz} al-Qur’ān, Mesir: Must}afa al-Bāb al-Halabi, 1961.

Al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi@ Ulu@m al-Qur'ān, Beiru@t: Dār al-Ikhyā’ al-Kutu@b al-‘Arābiyyah, t.t.

Bernad Lewis, The Political Language of Islam, Chicago: University of Chicago, 1988.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana, 1993.

Fazlur Rahman dalam Islamic Studies Vol. VI, No. 2, 1967.

Grant S. Osborne, The Hermeneutical Spiral, Downers Grore-Illionis: University Press, 1991.

Hamka, Islam Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka panjimas, 1984.

Hamka, Tafsir al-Azha, Jakarta: Pembimbing Masa, 1973.

Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Depag, 1993.

Ibn Manz}ur, Lisān al-Arab, Beiru@t: Dār S}adhr. Vol.V .t.t.

M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Prima Aksara, 1993.

M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Prima Aksara, 1993.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: 1996.

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, Yogyakarta: PLP2M, 1987.

Muhammad Ibn Jari@r at-T{abāri, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wi@l ayi al-Qur'ān, Beiru@t: Dār al-Fikr, 1984.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993.

Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the State, Delhi: Muhammad Ahmad for Idarah Adabiyah, 2009, 1979.

Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi: Adam Publisher & Distributions, 1992.

T.W. Arnold, “Khalifa” dalam M.TH. Houstma, (ed.), First Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1987.

Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.

Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.

KONSEP KENABIAN TELAAH KOMPARATIF ANTARA TRADISI ISLAM DAN KRISTEN

KONSEP KENABIAN
TELAAH KOMPARATIF ANTARA TRADISI ISLAM DAN KRISTEN
Oleh: Shohibul Adib, S.Ag. M.S.I.

A. Pendahuluan.
Pluralitas keagamaaan dimanapun di dunia ini, kecuali ditempat-tempat tertentu, adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak antara komunitas-komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada belahan bumi sekarang ini kelompok masyarakat yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Pluralitas yang telah menjadi gejala global ini terjadi pada 1980-an, dimana dunia tidak bisa menolak hancurnya batas-batas budaya, ras, bahasa dan geografis. Dari segi sosiologis realitas ini menunjukkan bahwa manusia sudah berada dalam lingkaran globalisme, dengan ciri pluralisme etnis dan agama. Realita ini juga sering disebut dengan global village untuk menunjukkan betapa kecilnya bumi. Dengan demikian maka benarlah jika dikatakan bahwa pluralitas keagamaan, sebagaimana pluralitas-pluralitas lain seperti pluralitas etnik, pluralitas kultural, pluralitas bahasa, adalah semacam hukum alam. Mengingkari pluralitas keagamaan sama saja mengingkari hukum alam. Yang menjadi persoalan adalah bukan keberadaan pluralitas keagamaan melainkan bagaimana sikap kita terhadap pluralitas itu? apakah kita menghormati, menghargai, memelihara dan mengembangkan pluralitas? Apakah masing-masing kita mampu hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang atau kelompok lain yang berbeda agama tanpa harus membenci dan memusuhi? Tulisan ini tidak mencoba mengkaji masalah pluralitas agama, melainkan mengkaji masalah konsep kenabian dalam Islam dan Kristen. Dengan mengetahui konsep dan fungsi kenabian dalam tradisi Islam dan Kristen, diharapkan kita bisa lebih arif dalam memandang perbedaan dan persamaan antar agama hatta kita rela (ikhlas) ziarahi alam pluralitas itu sendiri, menghiasi pluralitas dengan indahnya bunga yang beraneka warna. Amin.

B. Pengertian Istilah Nabi dan Rasul dalam Tradisi Islam dan Kristen.
Kata nabi berasal dari bahasa arab naba’ yang berarti warta (al-khabar, news), berita (tidings), informasi (information), laporan (report). Dalam bentuk transitif (anba’a ‘an) ia berarti memberi informasi (to inform), meramal (to predict), to foretell (menceritakan masa depan). Bentuk jamak dari istilah ini adalah nabiyyun dan anbiya’, sedangkan nubuwwah adalah bentuk al-masdar (kata benda, noun) dari na-ba-‘a yang berarti kenabian (prophecy, ramalan atau prophethood, kenabian), sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.
Dalam bahasa Inggris, nabi biasa disebut dengan prophet yang berarti seseorang yang mengajarkan agama dan mengklaim, mendapatkan inspirasi dari Tuhan dan prophetess sebutan untuk nabi perempuan, sedang dalam bahasa Yunani prophetes berarti orang yang mengkomunikasikan wahyu Tuhan. “kata Prophetes diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew menjadi kata nabi. Secara etimologis, kata ini berarti “memanggil”, “berbicara keras”. Ada juga yang secara langsung mengartikan sebagai “orang yang dipanggil Tuhan untuk berbicara atas nama-Nya”.
Secara istilah, kata nabi memiliki banyak definisi. Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah melalui perantaraan malaikat atau ilham maupun mimpi yang benar. Mereka juga adalah mubasyir (pembawa berita baik, yakni tentang ridha Allah dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang mengikutinya dan munzir (pemberi peringatan, yakni balasan mereka dan kesengsaraan bagi mereka yang ingkar (Qs: al-Baqarah (2): 213).
Rasul (ar-Rasul, apostol) adalah istilah yang melekat erat ketika kia mengkaji masalah kenabian. Dalam pemakaiannya, banyak pemikir yang menyamakan dan banyak pula yang membedakannya. Para pemikir Muslim yang tradisionalis melakukan pembedaan terhadap dua istilah ini (nabi dan rasul) dilihat dari segi fungsinya. Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawa hukum (al-Syari’ah) dan mungkin juga kitab-Nya kepada umat manusia, sedangkan ar-Rusul jama’ dari kata rasul secara bahasa adalah utusan Tuhan yang membawakan hukum dan kitab-Nya. Dalam konteks yang lebih masyhur, nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Tuhan tanpa kewajiban menyampaikannya kepada orang lain, dan rasul adalah orang yang menerima wahyu dengan kewajiban menyampaikan risalahnya kepada orang lain.
Dalam pandangan Murtadha Muthahari seorang nabi adalah manusia yang bertindak sebagai penerima dan kemudian menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca: wahyu) kepada umat manusia. Nabi adalah manusia pilihan yang memenuhi prasyarat untuk menerima pesan-pesan tersebut dari alam ghaib. Pengiriman para nabi atau rasul oleh Tuhan merupakan perwujudan adanya garis perbedaan Tuhan dan makhluk. Dalam hal ini, Hammudah Abda Tali menyatakan bhwb tujuan kenabian adalah menunjukan apa yang harus atau apa yang dapat diketahui manusia danmengejar apa yang tidak dan atau belum diketahui dan dimengerti.
Terlepas dari perdebatan di atas, kedua kata di atas digunakan dalam al-Qur'an. Terkadang disebut nabi, pada waktu lain disebut rasul, dan adakalanya dipakai secara bersamaan.
Hal yang layak dicatat mengenai pemberian definisi yang dilakukan oleh kebanyakan pemikir muslim di atas, yang telah mapan dan telah menjadi dogma, adalah sikap mereka yang sangat anti feminis dimana nabi dan rasul bagi mereka adalah manusia laki-laki, bukan manusia perempuan.
Sementara itu, dalam tradisi Kristen ditinjau dari sudut etimologis arti kata “nabi” masih diperdebatkan. Namun, pada umumnya orang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata akadis (nabu-m) yang berarti ”mengangkat, menunjuk atau memanggil”. Dalam bahasa Akadia yang berarti duta atau utusan, penyambung lidah. Adapun dalam bahasa inggris disebut Prophet, yakni orang pilihan Allah, Pelihat dan Pewarta, dalam bahasa Yunani disebut Propethes berarti seseorang yang berbicara terhadap yang lain atau penerjemah, atau orang yang berbicara sebelumnya (sebelum suatu peristiwa terjadi), yang berbicara atas nama seseorang. Dengan kata lain, nabi dapat diartikan sebagai orang yang dipanggil untuk berbicara atas nama Tuhan.
Istilah Prophetes sudah digunakan sejak abad ke-5 SM, guna menunjukkan kegiatan bagi orang yang mencoba memahami dan menafsirkan kehendak Illahi dengan berbagai cara. Peranan nabi itu tampaknya menjadi peranan dalam hidup keagamaan yang publik dan memiliki kedudukan yang istimewa. Terdapat istilah lain yang lebih menunjuk kepada mantra, tenun, sihir dan pengantara antarav orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati. Orang yang memiliki kekuatan seperti itu dan mencoba menjelaskannya, disebut Mantis. Baik Prophetes maupun Mantis bisa terjadi pada diri pribadi namun istilah yang terakhir terutama digunakan untuk orang yang mampu melihat masa depan. Maka dalam hal ini, kenabian dalam Kristen bukan pertama-tama sebagai gejala meramal masa depan atau gejala menafsirkan hal-hal yang tersembunyi seperti dalam klenik, melainkan lebih sebagai suatu sarana untuk memahami dan mengentarai wahyu Tuhan dan kehendak-Nya, atau jika berbicara tentang masa depan dan nasib bangsa mereka mendasarkan pada pengamatan apa yang terjadi pada waktunya. Maka jika para nabi itu berbicara mengenai masa depan, itu tidak soal menerka atau meramal, melainkan menafsirkan masa depan dan tanda-tanda zaman bagaimana Tuhan berkarya ini.
Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan kata Akadis (nabu-m), masih diperdebatkan apakah “nabi” haruslah diartikan secara aktif, yakni “pembicara, pewarta”, atau secara pasif, orang yang diangkat, ditunjuk, dipanggil atau dipercayakan dengan suatu pesan. Berdasarkan pembentukan kata-kata yang serupa dalam bahasa Ibrani, kebanyakan ahli berpendapat bahwa kata “nabi” haruslah dimengerti menurut arti pasifnya. Dengan demikian, “nabi” adalah orang yang dipanggil dan diutus Tuhan dengan suatu tugas tertentu. Dia diutus untuk mewartakan sabda Tuhan dan dengan itu menjadi penyambung lidah-Nya. Demikian juga artinya sekarang yang diterima dalam dunia Kristen. Namun, sikap hati-hati perlu dilakukan karena dalam kitab suci (Bibel) kata ini sering kali digunakan untuk orgbv-orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyampaian sabda Tuhan dan bahkan untuk orang-orang yang sama sekali berada di luar fenomena ini.
Dalam Perjanjian Lama, nabi adalah orang, baik laki-laki atau perempuan yang memberitakan pesan-pesan Tuhan kepada bangsa Israel. Pesan-pesan ini didapat secara istimewa dari Tuhan dengan penglihatan (Zakharia) bisikan suara (Yesaya) tapi selalu dari Tuhan. Dalam peranjian baru, pengertian nabi lebih luas, yakni mereka yang menerima karunia untuk bernubuwat (Kis. 13. 1 RM. 12.6 1 Kor. 12.10) dan setiap orang percaya diberi jabatan kenabian karena mengetahui kehendak-Nya. Adapun rasul dalam bahasa Yunani berarti utusan. Dalam artian, rasul adalah keduabelas murid Yesus, (dengan Paulus) yang dipersiapkan dan diangkat Yesus untuk diutus dan menjadi saksi dari kisahnya. Dalam pengertian yang lebih luas, rasul menunjuk pada Kristus (Lbr. 3.1 dan pembantu-pembantu paulus).
Para rasul ini memiliki tanggungjawab yang urgen, yakni meneruskan pekerjaan Yesus setelah ia kembali ke surga. Reputasi mereka akan terus mempengarhi sejarah gereja walau mereka sudah meninggal. Oleh karenanya, pemilihan ke-12 orang itu merupakan tanggungjawab yang besar “pada waktu itu pergilah Yesus ke Bukit untuk berdo’a dan sepanjang malam ia berdo’a kepada Allah lalu memilih di antara ke-12 orang tersebut, yang disebutnya ‘rasul” (Luk. 6. 12-13).
Dalam Kamus Teologi dijelaskan bahwa nabi adalah orang yang dipengaruhi oleh ruh Allah untuk berbicara atau bertindak dengan cara-cara tertentu. Dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa lampau dan sedang terjadi dan dalam mewartakan peristiwa yang akan datang, para nabi perjanjian lama berbicara dari kedalaman pengetahuan akan Allah. Mereka mewartakan kesetiaan kepada Perjanjian dan menentang pelaksanaan hukum secara lahiriyah saja.
Dari uraian di atas, tampak terdapat kesamaan konseptual antara nabi dalam Islam dan Kristen sebagai orang yang mendapat wahyu, inspirasi dalam berbagai bentuknya, untuk disampaikan kepada umatnya, dan terdapat beragam term rasul. Dalam konteks Islam, rasul memiliki kedudukan yang penting seperti nabi; dalam Kristen, rasul adalah penerus Yesus dalam meneruskan misinya yang berjumlah 12.

C. Fungsi Kenabian dalam Islam dan Kristen.
Dalam tradisi kenabian Perjanjian Lama, tugas dan peranan pokok panggilan kenabian adalah mengingatkan bangsanya (Israel) yang lupa akan perjanjian cinta dengan Tuhan, sekaligus menyerukan pertaubatan. Selain itu, nabi juga bertugas menyampaikan ancaman hukuman atau bencana yang akan etrjadi jika Israel tidak bertaubat atau mendapat berkat jika mereka bertaubat.
Melihat fakta sejarah yang ada, dalam Kristen terdapat upaya untuk memahami kenabian sebagai fenomena keagamaan yang cukup kompleks. Maka, guna mendapatkan pengertian yang jelas tentang kenabian dan fungsinya secara keseluruhan, kita perlu menempatkan setiap angkatan para nabi dalam konteks sosio budayanya masing-masing. Dalam PL, sebagaimana diketahui, para nabi di Israel datang secara bergelombang kurang lebih 8 abad. Sebagai saksi-saksi dari masa-masa yang sangat beragam dalam sejarah bangsanya, para nabi mengembangkan teologi yang berbeda-beda, dengan menitikberatkan pada hal yang berbeda bahkan pada hal-hal yang saling berlawanan. Secara garis besar, kenabian Israel dapat dibagi ke dalam lima periode, yakni: pertama, nabi-nabi pertama; Teologi Janji, atau dalam istilah lain Nabi-nabi Perintis, yaitu nabi asli dari zaman para raja atau akhir zaman pada hakim (abad 10 SM) sampai permlaan abad 8 SM. Yang dimaksud nabi periode ini adalah nabi-nabi yang muncul sebelum Amos yang pewatan serta karyanya tidak dibukukan secara terpisah dan diberi judul dengan namanya. Perutusan mereka diketahui hanya dari karya sejarah Deuteronomist. Mereka adalah nabi Samuel dan nabi Natan yang melaksanakan karunia kenabiannya diistana Kerajaan nabi Daud (1010-970 SM) dan Raja Solomo (970-971 SM) masa yang palingv agung dalam sejarah Israel, di mana Yahweh berjanji akan mengangkat seorang keturunan Adam dan Hawa yang akan mengalahkan ular (Kej 3.15).
Periode ini cukup panjang yakni mulai dari akhir zaman para hakim hatta kematian Elisa atau mulai (1050-797 SM) kurang lebih 2 setengah abad. Maka fenomena kenabian yang tampak tidak tungal namun majmuk. Kenabian perintis ini terdiri dari beberapa fase dan memiliki banyak bentuk dan wajah, yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Kedua, Nabi-nabi besar. Teologi Perjanjian (Nabi sebelum pembuangan pada pertengahan abad ke-8 SM hatta masa pembuangan 586 SM. Di antara nabi-nabi sebelum pembuangan adalah nabi Amos, Hoseya, Mikha dan Yesaya, dan nabi-nabi masa pembuangan yaitu Yeremia, Nahum, Habakuq, zevania, Yehezekil. Mereka ini biasa disebut nabi-nabi klasik, yakni nabi-nabi kelas satu atau pertama jika orang berbicara mengenai kenabian dan nabi-nabi yang paling berpengaruh dan memberikan arti yang sebenarnya apa yang disebut nabi. Mereka melakukan teriakan protes, kata peringatan kepada semua orang yang memanfaatkan kesetiaan Yahweh, dan sekaligus menjauhkan diri darinya. Memang, para nabi tidak meragukan janji Yahweh kepada nenek moyang, namun mereka menekankan pentingnya bagi umat untuk menjawab panggilan Yahweh dengan bebas. Inspirasi umum yang menyemangati suara para nabi besar, sekaligus membedakan mereka dengan semua nabi yang mendahuluinya adalah keyakinan bahwa kesetiaan Yahweh itu bersarat. Ia memilih umatnya, menjanjikan keturunan serta tanah kepadanya, melindungi mereka terhadap bangsa-bangsa lain, namun dengan sarat Israel memenuhi tuntutannya untuk vbertaubat, jika tidak Yahweh akan menyerahkan umatnya pada bangsa-bangsa lain. Hubungan antara Yahweh dengan umatnya tidak sepihak, namun mengandung kesetiaan pada keduabelah pihak. Namun, secara memalukan israel melupakan kebenaran ini.
Ketiga, kembali dari pembuangan; para nabi yang optimis (abad ke-6 SM) pada akhir pembuangan muncul angkatan nabi baru di Israel. Perkataan mereka sama sekali bertentangan dengan nubuwat malapetaka para nabi besar. Pelaksanaan kedaulatan Yahweh serta pengalaman yang kokoh akan kemuliannya tetap menyemangati mereka. Namun, mereka mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbeda untuk zaman mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada sabda nabi-nabi ini janji lama yang telah bersemi diikrarkan kpd leluhur dihidupkan kembali. Zaman pembuangan hanya sebagai selingan saja dan Yahweh tetap setia.
Keempat, para nabi dari “Sisa” serta dari “kaum miskin Yahweh” (abad ke-5 SM dan ke-4 SM). Setelah berlalunya para nabi abad ke-6 SM muncullah kekecewaan-kekecewan baru. Sejumlah kecil orang yang pulang dari pembuangan merasa diri minoritas di tengah bangsa yang makin lama makin tidak setia kepada Yahweh. Mereka merasa ditinggalkan oleh Allah. Kondisi ini memunculkan dua aliran kenabian yang berbeda. Satu, teologi (sisa Israel), yang lebih menampakkan kelanjutan paham dari nabi besar klasik (teologi perjanjian), namun telah diperbaharui. Di mana teologi ini telah mengintegrasikan penderitaan Israel secara positif serta menghasilkan suatu janji pemulihan. Para nabi “sisa” pun memandang penderitaan bangsa sebagai akibat dosanya, akan tetapi penderitaan ini penting dan bersifat positif untuk memurnikan bangsa serta mendidik mereka. Dua, teologi kaum miskin Yahweh yakni orang-orh yang dikejar, dihina, umat-umat kecil dari orang beriman yang merasa diri terancam (Bdk. Yer 42, 3:5,2,14). Mereka yakin dirinya benar dimata Yahweh dan saudara-saudara mereka yang mengejar telah meninggalkannya. Kaum miskin ini tidak lagi mengharapkan keselamatan lewat pertaubatan Israel, melainkan mengharap Yahweh sendiri yang membebaskan mereka serta menghukum saudara-saudara mereka, dan Yahweh akan setia janji yang pernah diikrarkan kepada keturunan Daud, kaum miskin segera dibangkitkannya.
Kelima, para nabi Apokalips/akhir zaman (abad ke-2 Sebelum Kristus). Nabi-nabi terkahir PL bangkit didesak oleh suatu kondisi dimana umat yang tetap setia kepada Yahweh menghadapi godaan baru. Ketika Yahweh tetap berdiam saja, sedangkan pengawasan bangsa-bangsa besar semakin ketat, maka mereka mulai berinkulturasi serta mengambil alih adat-istiadat bangsa Yunani di sekitar mereka.disebut nabi Apokalips dalam istilah sejarah tiba-tiba mereka dipindahklan ke akhir zaman. Mereka mewahyukan apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Pada waktu itu, Yahweh akan memperbaharui semuanya dan memulihkan umatnya. Yahweh akan bertindak sebagai raja serta kerajaannya tidak akan berakhir.
Dari uraian di atas, tampak wacana kenabian dalam tradisi Kristen kelihatan lebih rumit, sekaligus dinamis dan progresif dibanding dalam tradisi Islam. Dalam Kristen, citra seorang nabi lebih kompleks. Para nabi dalam PL mendapatkan berbagai nama yang berbeda: orang Pilihan Allah, dan Pewarta. Istilah yang beragam ini menunjukkan citra yang berlainan secara dasariah, baik dari jati diri maupun dari segi peranan yang mereka jalankan.
Selain itu, nabi juga digambarkan sebagai reformator sosial, yang tampil membawa reformasi sosial, bahkan revolusi, seperti tokoh Natan yang menghadapi Daud dengan keberanian, yakni dengan menunjukan kesalahan Daud merebut Batsyeba isteri Uria dengan cara yang tidak semestinya ( 2 Sam 12), Elia yang digambarkan sebagai kritkus raja Ahab yang menyerobot tanah milik Nabot hanya untuk mendapatkan kebun Anggur (1 Raj 21), dan juga Amos dan Mikha yang berjuang untuk membela keadilan. Bahkan nabi dalam tradisi Kristen ada yang dicitrakan sebagai pejabat, misalnya Hagai dan Zakharia yang sangat berkepentingan dengan dibangunnya Kenisah sebagai pusat ibadah.
Dalam konteks Islam, Muhammad saw. adalah nabi ygdikenal sebagai tokoh reformasi terhadap sistem kepercayaan dan sosial masyarakat yang dianggap telah menyimpang. Penyelewengan keimanan dan sosial jelas merupakan bidang garap reformasi oleh para nabi dalam suatu masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa Makkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Makkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar klan, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Makkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.
Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir, yang oleh Ziaul Haque disebut sebagai pahlawan revolusioner pertama dari zaman modern, karena Muhammad melihat dengan jelas bahwa pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan, dalam bentuk sosial dan ekonominya, sesungguhnya adalah sebuah perjuangan kelas, sebuah pertentangan antara orang-orang yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi, hamba dengan tuan-tuan, dan antara kaum lemah dan yang kuat, membela kaum miskin, para budak dan para tukang.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Makkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Makkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan agama", namun lebih, yakni bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, penimbunan dan pemborosan. Hal ini tampak dalam sunnahnya, yakni:
من احتكر طعاما أربعين يوما يريد به الغلاء فقد برئ من الله وبرئ الله منه.
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan maksud untuk menaikkan harga, maka ia telah berlepas dari Allah, dan Allah juga berlepas darinya.

Larangan Muhammad terhadap penimbunan barang untuk menaikkan harga tersebut kemudian diserukan oleh sahabatnya Abu Zar (seorang pencetus pemikiran sosialistik Islam periode Muhammad) sebagai berikut:
Hari demi hari, aristokrasi, eksploitasi, kemubaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat dan golongan, keretakan, menjadi semakin besar, dan propaganda Abu Zar tumbuh makin lama makin luas, yang menyebabkan rakyat jelata dan golongan yang tertimpa eksploitasi menjadi lebih tergoncang. Orang-orang yang lapar, mendengar dari Abu Zar bahwa kemiskinan mereka bukanlah takdir Tuhan yang tertera di dahi dan merupakan ketetapan nasib serta takdir di langit: penyebabnya adalah Kinz, penimbunan modal.

Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam rangka membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidak adilan. Inilah karakteristik sosialime Islam yang terwakili oleh hadirnya para nabi yang memiliki tujuan untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas, memproklamasikan kebenaran, membangun orde-orde sosial atas dasar kesamaan hak, keadilan sosial, dan persaudaraan.
Dengan demikian, Muhammad hadir di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang dibawakannya. Namun, Muhammad juga memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan ketimpangan sosial. Dalam iklim masyarakat kapitalistik-eksploitatif, Muhammad bersama para pengikutnya kaum tertindas berjuang untuk menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan sebagaimana pendapat Agus Salim bahwa Muhammad sudah mengajarkan sosialime sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx.

D. Natijah.
1. Terdapat kesamaan konseptual antara nabi dalam Islam dan Kristen sebagai orang yang mendapat wahyu, inspirasi dalam berbagai bentuknya, untuk disampaikan kepada umatnya, dan terdapat beragam term rasul. Dalam konteks Islam, rasul memiliki kedudukan yang penting seperti nabi; dalam Kristen, rasul adalah penerus Yesus dalam meneruskan misinya yang berjumlah 12.
2. Tradisi Islam dan Kristen memiliki kesamaan dalam melihat fungsi kenabian, yakni menyampaikan sabda Tuhan, memberitahukan kehendak-Nya dan mengajak kepada kebaikan. Sementara perbedaan hanya terletak pada cerita atau kisah yang dihadapi oleh masing-masing nabi. Hal ini terjadi karena cara pandang yang berbeda mengenai latar belakang sosial budaya masyarakat yang dihadapi oleh nabi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Taufik (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Van Houve, 2000.

Asyqar. Umar Sulaiman al-, Ar-Rusul wa ar-Risalah, Kuwait: Maktabah al-Falah, 1985.

Aune David. E., “Prophet, Prophecy”, dalam Everett Ferguson (ed.), Encyclopedia of Early Christianity, New York: Garland Publishing, Inc, 1997.

___________, Prophecy in Early Christianity and the Ancient Mediterranean World, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, t.t.

Bacq. P., Seri Pastoral 233: Kenabian dalam Gereja Sekarang, Yogyakarta: Pusat pastoral Yogyakarta, 1994.

Bahgdady. Abu Mansur Abdul Qahir ibn Thair al-Tamimy al-, Kitab al-Ushul al-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1981.

Bazdawy. Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-, Kitab Ushul al-Din, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1963.

Berthold Anton Pareira, Nabi-nabi Perintis Pengantar Kitab-kitab Kenabian, Yogyakarta: Kanisius, 1985.

Darmawijaya, “Nabi sebagai Reformator”, dalam Hak Azasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

___________, Para Rasul Yesus Kisah Kelompok 12, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

___________, Tindak Kenabian; Kisah Perbuatan Aneh Para Nabi, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

___________, Warisan para Nabi, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Depag., 1987-1988.

Fahd. T., “Nubuwwa”, dalam Benard Lewis (ed.), The Encyclopedia of Islam, Leiden: t.p., 1995.
Farrugia. Gerald O’Collins dan Edward G., Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Haque. Ziaul, Revelation and revolution in Islam, New Delhi: International Islamic Publisher, 1992.

___________, Revolusi Islam di Bawah Bendera Laaillaahaillallah, t.tp.: Darul Falah, 2000.

___________, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati al-Khattab, Yogyakarta: LkiS, 2000.

Hornby. A. S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (ed.) Crowther, Oxford: Oxford University Press, 1995.

Kerr. David A., “Prophethood” dalam John L. Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.

Mahmud. Syaikh Abdullah bin Zaid Ali, Al-Ittikhaf Ahfiya’ bi Risalah al-‘Anbiya’, Qatar: Ri’asah al-Mahakim asy-Syar’iyyah wa as-Syu’un ad-diniyyah, 1991.

Manzur. Ibn, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Sadhr, t.t.

Muthahari. Murtadha, Falsafah Kenabian, Jakarta: Pustaka Hidayah 1991.

Nwahaghi. Felix N., “Priesthood and Prophecy in Judeo-Christian Religion”, dalam Journal of Dharma 15, 1990.

Packers. J.I, cs. Dunia Perjanjian Baru, Surabaya: YAKIN bekerjasama dengan Malang Penerbit Gandum Mas, 1993.

Resesi. Laurent, “Apakah Sang Nabi Itu?” dalam Rohani, Tahun XLII, No. 10 Oktober 1995.

Sawyer. John FA., Prophecy and the Biblical Prophets, Oxford: Oxford University Press, 1993.

Shabuny. ‘Ali as-, An-Nubuwwah wa al-Anbiya’, Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985.

Shihab. Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.

Soedarmo. R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

Suyuthi. As-, Al-Jāmi' al-Shāghir, Ahādis al-Basyir an-Nadzir. (Indonesia: Maktabah Dar Ihya' al-Kutūb al-Arabiyyah, t.t.

Syari’ati. Ali, Abu Zar, Suara Parau Menentang Penindasan, terj. Afif Muhammad, Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001.

Tali. Hammudah Abda, Islam dalam Sorotan, terj. Anshari Thoyib, Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Tim Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.

Tim, "Buku Putih" (G.30-S Pemberontakan PKI), Jakarta: Sekneg, 1994.

Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Tulus. Alam, Muhamad Mengajarkan Sosialime Jauh Sebelum Karl Marx, dalam Media.isnet.org.Akses tanggal 22 Desember 2007.

Wehr. Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1971.

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakata: Rineka Cipta, 1992.